Warga di Manado Minta Polda Sulut Tegas Berantas Mafia Tanah

Keluarga Korban Kecewa Karena Polda Sulut Menghentikan Penyidikan Laporan Korban Atas Kasus Mafia Tanah di Manado. 

SatuUntukSemua.id – Praktek mafia tanah masih merajalela di Sulawesi Utara, hingga menjadi sorotan publik.

Belum lama ini mencuat dugaan penggelapan sertifikat tanah yang melibatkan seorang Notaris inisial EB.

EB yang merupakan notaris di Manado ini menuai sorotan setelah kasus dugaan mafia tanah yang melibatkan dirinya tiba-tiba dihentikan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) yang ditangani oleh Polda Sulut.

Polda Sulut menghentikan kasus tersebut dengan alasan tidak cukupnya alat bukti.

Diketahui kasus ini bermula pada 4 Maret 2024 ketika pelapor, Ir. Hanny Wala, melaporkan oknum notaris EB alias Eddy tersebut dengan tuduhan penggelapan sertifikat tanah.

Tanah tersebut diketahui berlokasi di Kelurahan Bitung Karangria, Kecamatan Tuminting, Kota Manado yang secara sah menjadi milik Hanny Wala.

Tanah tersebut kemudian hendak dijual oleh Hanny Wala dan akhirnya bertemu dengan calon pembeli. Kesepakatan kemudian terjadi dan menggunakan jasa dari notaris EB.

Seiring berjalannya waktu, antara Hanny Wala dan calon pembeli tidak menemukan kesepakatan harga sehingga jual beli tersebut dibatalkan secara sah.

Namun, kejanggalan mulai terjadi ketika Hanny Wala selaku pemilik sah tanah tersebut hendak menanyakan keberadaan sertifikat tanah yang dipegang oknum notaris EB.

Namun EB tidak memberikan jawaban yang jelas, yang membuat Hanny Wala melalui Kuasa Hukumnya melayangkan Somasi pertama hingga ke tiga. Dan akhirnya melaporkan masalah ini ke pihak kepolisian.

Aparat kemudian melakukan serangkaian penyelidikan dan pemeriksaan terhadap saksi-saksi terkait. Namun, meskipun beberapa bukti diajukan oleh pihak pelapor, aparat menyatakan bahwa alat bukti yang ada tidak cukup untuk membuktikan bahwa EB telah melakukan penggelapan.

Akibatnya, pada 14 februari 2025, pihak kepolisian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terkait kasus tersebut.

Hanny Wala selaku pemilik sah lahan tersebut merasa kecewa dengan keputusan kepolisian melakukan SP3 tersebut.

“Saya merasa dirugikan dan tidak puas dengan hasil penyidikan ini. Saya sudah memberikan bukti yang cukup, namun ternyata menurut kepolisian itu tidak cukup bagi penyidik untuk melanjutkan kasus ini,” ucapnya saat memberikan keterangan di hadapan awak media di museum of tanta mien, Kamis 13 Maret 2025.

Sementara itu, pengacara Dr. Wempie Potale, SH., MH, Hanny Wala menyatakan adanya kejanggalan saat dikeluarkannya SP3 dari pihak kepolisian.

“Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk menetapkan tersangka itu minimal harus ada dua alat bukti. Sementara, kami sudah memasukan lima alat bukti kepada penyidik, termasuk barang bukti yang diakui oleh EB ada pada dirinya. Sehingga disinilah kejanggalan dari SP3 yang dikeluarkan dengan alasan tidak cukup bukti,” tutur pengacara Wempie Potale.

Dirinya pun menduga adanya permainan dalam kasus tersebut. Sehingga menyisakan banyak pertanyaan khususnya terkait dengan proses hukum yang berjalan di Polda Sulut itu.

Wempie Potale turut berharap pihak kepolisian dapat lebih profesional serta transparan dalam menangani sebuah laporan masyarakat.

“Saya masih menaruh harap institusi kepolisian di Sulut itu Pro Rakyat, bukan pro pada aktivitas yang menjurus pada aksi mafia tanah. Kepolisian juga harus lebih transparan dalam menjelaskan alasan dari penghentian penyidikan kasus seperti ini agar tidak menurunkan tingkat kepercayaan terhadap sistem hukum di kepolisian,” beber Wempie.

(Redaksi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *