Manado, SatuUntukSemua.ID – Sidang dugaan kasus dana hibah Sinode GMIM, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Manado, Senin (24/11/25).
Agenda sidang kali ini ialah sidang nota pembelaan atau Pleidoi, bagi empat terdakwa. Masing-masing, Jefry Korengkeng, Steve Kepel, Asiano Gemmy Kawatu dan Pdt Hein Arina.
Terdakwa Pdt Hein Arina, merupakan yang terakhir kali mendapat giliran sidang. Ada suasana haru, saat giliran sidang Pdt Hein Arina.
Pdt Hein Arina, yang merupakan Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode GMIM, membacakan pledoi pribadinya dalam perkara dugaan korupsi dana hibah.
Arina dengan suara yang bergetar namun tegas, dirinya menyatakan ia berdiri bukan untuk mencari pembenaran, tetapi menyampaikan kebenaran dari hati seorang pendeta.
Dalam nota pembelaan yang tebalnya 125 halaman tersebut, dengan nuansa batin dan argumentasi moral, Arina menegaskan dirinya tidak pernah sepeserpun menikmati dana hibah untuk kepentingan pribadi.
“Saya tidak pernah sedikitpun menggunakan danah hibah itu untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau siapapun,” katanya.
Ia memulai pembelaannya dengan salam menyapa Majelis Hakim, Tim Penuntut Umum, Penasihat Hukum, hingga jemaat yang mengikuti persidangan, sembari mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesempatan menghadirkan pembelaan final tersebut.
“Dana hibah itu bukan milik saya, itu amanah negara dan amanah gereja,” ungkapnya.
Dalam penjelasan panjang yang sarat ketegasan, Pdt Arina menuturkan bahwa dana hibah dari Pemprov Sulut itu adalah amanah yang dikelola secara kolektif oleh struktur gereja, tanpa aliran sepeser pun ke rekening pribadinya.
Ia merinci bahwa seluruh dana digunakan untuk pembangunan gedung rektorat UKIT, pembangunan kampus fakultas Teologi, beasiswa mahasiswa kurang mampu, bantuan bagi pendeta serta guru agama dan pendeta emeritus, kegiatan pemuda GMIM, pembangunan Rumah Sakit GMIM, serta pembangunan dan pelayanan gereja di berbagai wilayah.
Baginya, dana itu bukan sarana korupsi. “Tetapi benih berkat yang tumbuh menjadi pohon-pohon pelayanan. Saya pendeta, saya belajar melayani, bukan menguasai birokrasi,” tegasnya.
Pdt Arina mengakui kekurangan dalam sisi administratif, namun menegaskan bahwa tidak ada unsur kesengajaan apalagi niat jahat.
“Kalaupun ada kekurangan dalam laporan atau administrasi, itu bukan karena kesengajaan, tetapi karena keterbatasan pemahaman saya dalam hal teknis dan birokrasi,” urainya.
Ia menambahkan bahwa seluruh tindakannya dalam kepemimpinan adalah bagian dari tanggung jawab moral terhadap jemaat dan esensi panggilannya.
Suasana ruang sidang semakin syahdu ketika Pdt Arina mengisahkan penderitaan keluarga selama ia ditahan 222 hari. Ia menyebut bagaimana istri, anak-anak dan cucu-cucunya diledek, dihina, dan dipanggil keluarga pencuri.
“Saya melihat orang yang saya cintai dilukai karena sesuatu yang tidak benar,” katanya dengan suara bergetar.
Yang paling memilukan baginya adalah ia ditahan satu hari sebelum Jumat Agung, ketika ia dijadwalkan memimpin ibadah. Permohonannya agar penahanan ditunda demi tugas tersebut tidak dikabulkan.
“Saya tidak kuat, tetapi Tuhan yang menguatkan saya,” ucapnya.
Di ruang sidang, ia mengutip ayat Filipi 4:13, sebuah deklarasi iman yang selama ratusan hari menopang langkahnya di dalam sel tahanan.
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku,” sebut Pdt Arina mengutip ayat Alkitab.
Ia juga menegaskan kembali di hadapan publik bahwa dirinya tidak bersalah. “Saya tidak pernah mengambil yang bukan hak saya. Lebih baik lapar dalam kejujuran,” tuturnya.
Dalam bagian paling reflektif dari pledoi, Pdt Arina mengisahkan masa kecilnya di kampung, perjuangan pendidikan, hingga pesan almarhum ayahnya yang menjadi kompas moral.
“Jangan pernah mengambil apa yang bukan milikmu. Lebih baik lapar dalam kejujuran,
daripada kenyang dari hasil yang bukan hakmu,” ungkapnya.
Ia menegaskan pendidikan adalah modal hidup yang tidak dapat dicuri siapa pun, pesan yang dibawa hingga masa kepemimpinan sebagai pendeta selama 36 tahun.
Pdt Arina memaparkan skala pelayanan GMIM yang meliputi 224.694 Kepala Keluarga, 827.418 jiwa, 149 wilayah, 1055 gereja di Tanah Minahasa, 27 jemaat di luar negeri.
Sebagai Ketua BPMS GMIM dua periode, ia menyebut semua penggunaan hibah semata-mata untuk menopang kebutuhan pelayanan lembaga sebesar itu.
Di akhir pembelaannya, Pdt Arina memohon Majelis Hakim melihat perkara tanpa keraguan. “Tidak ada unsur memperkaya diri, tidak ada kerugian negara, tidak ada niat jahat dalam tindakan saya,” sebut Pdt Arina.
Ia menutup dengan doa yang menggugah. “Kiranya palu keadilan yang akan diketukkan nanti, tidak memukul jatuh manusia yang jujur, tetapi memecahkan rantai salah paham
agar kebenaran kembali berdiri tegak di hadapan cahaya Tuhan,” kunci Pdt Arina. (***)






