36 Tahun Sebagai Birokrat, AGK : Dunia Seakan Runtuh, Saya Merasa Dihinakan Entah oleh Siapa Entah karena apa

Asiano Gemmy Kawatu dalam sidang Pleidoi

Manado, SatuUntukSemua.ID – Dugaan kasus dana hibah Sinode GMIM, kembali disidangkan. Kali ini agenda persidangan pembacaan nota pembelaan atau Pleidoi, Senin (24/11/2025).

Empat dari lima terdakwa menjalani proses persidangan pleidoi. Asiano Gemmy Kawatu (AGK) salah satu dari empat terdakwa yang membacakan nota pembelaan.

Di hadapan Hakim Ketua Achmad Peten Sili, para hakim anggota, panitera, jajaran jaksa penuntut umum, dan para penasihat hukum, serta keluarganya, AGK menyampaikan nota pembelaannya.

Dirinya menuturkan perjalanan dirinya yang merasa dihunjam dari belakang, setelah mengabdi puluhan tahun sebagai birokrat.

Dalam penuturannya, AGM membacakan pembelaannya terkait dengan kasus dugaan korupsi dana hibah GMIM, tahun anggaran 2020–2023, perkara yang menjeratnya setelah pensiun dan secara dramatis mengoyak ketenangan hari tuanya.

Kawatu mengurai identitasnya lahir dari rahim almarhum Syntiche Eva Watung, cucu dari Pdt GMIM Pdt Alfred Watung, dan putra dari Ernst Paulus Kawatu, seorang guru sekaligus birokrat yang menutup karier sebagai Kepala Sekretariat Kantor Gubernur Sulawesi Utara (Sulut).

Memasuki dunia birokrasi sebagai CPNS tahun 1987, ia menyabet predikat peserta terbaik golongan III, disertai pesan ayahnya terkait integritas. 36 tahun mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

“Jaga integritasmu. Baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik,” kata AGK mengingat pesan ayah dan ibunya dahulu.

Kariernya melesat. Pada 1990, ia dipercaya sebagai Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan Kantor Gubernur Sulut oleh Gubernur Mayjen TNI C.J. Rantung dan Sekprov Brigjen TNI A.T. Dotulong. Selama tujuh tahun, ia melayani pimpinan dan mendampingi Sekdaprov, termasuk Hi Muhamad Arsjad Daud, SH, alumni Lemhannas.

Ia kemudian menikah dengan Dra Paula Mantiri dan dikaruniai dua anak, Paulina dan Paulo. Kariernya menanjak total 20 jabatan, 10 di antaranya Eselon II, di bawah kepemimpinan lima gubernur C.J. Rantung, E.E. Mangindaan, A.J. Sondakh, S.H. Sarundajang, dan Olly Dondokambey. Tahun 2005 ia menjadi Pjs Bupati Minahasa Selatan (Minsel), dan di ujung karier 2021/2022 menjabat Pj Sekprov Sulut.

Memasuki 2024, saat menikmati pensiun, hidupnya jungkir balik. Pada April di tengah umat Kristiani menjalani minggu-minggu sengsara Kristus ia ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Sulut dalam perkara hibah GMIM.

Awal Agustus 2025, ia dan empat nama lain Pdt Hein Arina, Steve Kepel, Jeffry Korengkeng, dan Fereydy Kaligis ditetapkan sebagai terdakwa oleh Kejati Sulut.

“Dunia seakan runtuh, saya merasa dihinakan entah oleh siapa entah karena apa,” ucapnya.

Kawatu menegaskan bahwa ia hanya sekali dikonfrontasi penyidik, yakni dengan saksi Melky Matindas. Menurut Melky, ia menerima pernyataan dari Pdt Hein Arina bahwa perubahan kegiatan hibah GMIM Tahap 3 TA 2020 telah disetujui Kawatu via telepon. Kawatu membantah keras, dan bantahan ini dibenarkan langsung oleh Pdt Hein Arina di persidangan.

Artinya, menurutnya, Melky memberikan keterangan bohong kepada penyidik.

“Penyidik tidak pernah mengkonfrontasinya dengan saksi lain, termasuk Melky Matindas, Ferny Karamoy, Jimmy Pantouw, Piter Toad, Theofilia Parengkuan, Pdt Lucky Rumopa, Pdt Hein Arina, Fereydy Kaligis, Edwin Silangen, Flora Krisen, dan Rachmat Loleh. Akibatnya, seluruh pernyataan sepihak itu dipersepsikan seolah kebenaran yang menghantar saya menjadi tersangka,” ujarnya dengan suara gemetar.

Kawatu menguraikan latar belakang keahliannya dalam perencanaan, manajemen program, dan keuangan daerah. Ia menyebut pendidikan TOT di Jepang (Hokaido Development Center, JICA, 1998) serta TOT di Wolverhampton University Inggris (DFID, 1999). Ia menegaskan setiap proses hibah selalu mengacu pada.

“UU 23/2014, UU 30/2014, UU Keuangan Daerah, Permendagri, Pergub 39/2017, Pergub 25/2021, Keputusan Gubernur, NPHD, Tupoksi PA dan KPA,” katanya.

JPU menuduh bahwa sekitar Agustus 2019, Kawatu memanggil Melky Matindas (KPA) dan Jimmy Pantouw (PPTK) untuk menyusun draft SK Gubernur dana hibah TA 2020.

Kawatu mengakui ia menerima draft yang diusulkan, namun menjelaskan konteks sebagai Asisten 3 merangkap Pjs Kepala BKAD, ia berwenang menyiapkan draft usulan bagi pemerintah pusat, ormas, dan lembaga keagamaan.

“Total hibah mencapai Rp 400 miliar, dengan usulan hibah GMIM sebesar Rp 4 miliar, turun dari proposal awal Rp 6,05 miliar. Setelah Jeffry Korengkeng dilantik sebagai Kepala BKAD, draft diserahkan kepada yang bersangkutan untuk proses bersama TAPD, DPRD, dan mekanisme APBD,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa hal itu merupakan koordinasi dalam tupoksinya, bukan perintah melawan hukum. Ia juga menyatakan tuduhan bahwa GMIM tidak berbadan hukum adalah keliru karena Staatsblad 1925, akta notaris 21 Juli 1992, dan legalisasi Dirjen Bimas Kristen 5 Oktober 1992 menunjukkan status badan hukum GMIM.

“Kemudian terkait proposal. Ada di masukan itu. dua bukti. Surat GMIM No K/0982/UMI.A/05-2019 31 Mei 2019. Surat GMIM No K.0606.A/UM.I.A/05.2020 4 Mei 2020,” sebutnya.

AGK menegaskan bahwa proses administrasi terlambat karena Covid-19, PSBB, WFH, refocusing, dan penutupan kantor. Ia menyebut masa 2020–2022 sebagai Tahun Anggaran Abnormal, mengutip asas Salus Populi Suprema Lex Esto atau keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi.

JPU menuduh Kawatu memanggil Piter Toad (Pjs Karo Kesra) dan Rachmat Loleh untuk memproses pencairan hibah GMIM, dan memerintahkan penyusunan SK Gubernur.

“Belum ada SK yang diproses atau diterbitkan,” ungkapnya.

JPU juga menuduh ia menentukan sendiri besaran hibah Rp 4,5 miliar. Namun Piter Toad dalam persidangan justru menyatakan bahwa draft dari BKAD sudah mencantumkan angka Rp 5 miliar.

Dalam BAP 9 Desember 2024, Piter Toad menyebut Kawatu menyampaikan angka Rp 4,5 miliar, tetapi dalam BAP 30 Mei 2025, ia mengatakan perintah urus akang tu Dana Hibah GMIM sambil meminta penyusunan SK.

Pernyataan ini, bagi Kawatu, inkonsisten dan tidak pernah benar-benar terjadi.

Di bagian paling emosional dan krusial, Kawatu memohon dengan rendah hati kepada majelis hakim untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya. Tiga permohonan yang ia sebutkan secara eksplisit menjadi puncak pleidoi.

“Mohon majelis hakim untuk mempertimbangkan dan bisa dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan. Dengan ini saya meminta untuk mejelis hakim memberikan putusan bebas, putusan onslag Atau, apabila majelis hakim berpendapat lain, permohonan putusan hukuman yang seringan-ringannya,” urainya.

Ia menyampaikan ketiga poin itu bukan sebagai strategi retorik, melainkan sebagai jeritan hati seorang pelayan negeri yang merasa tidak berniat merugikan negara.

Kawatu kemudian menyertakan lima alasan yuridis–sosiologis untuk dipertimbangkan majelis hakim. Ia menegaskan bahwa selama menjadi ASN, tidak pernah sekalipun ia tersandung kasus hukum.

“Pada usia 63 tahun, keterbatasan fisik dan finansialnya membuat tekanan perkara ini sangat memberatkan. Saya juga disampaikan tim dokter mengalami kerusakan organ Permanen 20 persen pasca Covid-19 varian Delta. Kendati saya sembuh, tetapi itu mempengaruhi stamina dan kualitas hidup,” imbuhnya.

AGK juga menyampaikan bahwa dirinya masih memiliki istri serta putra-putri yang belum menikah sehingga ada tanggung jawab yang secara moral tetap harus ia pikul.

“Saya sangat berharap dapat kembali menyelesaikan masa pelayanannya sebagai
Pelayan Khusus Penatua Pria Kaum Bapa GMIM Bukit Zaitun Wanea Manado periode 2022–2026, sebuah peran yang saya tekuni dengan pengabdian,” kuncinya. (***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *