SatuUntukSemua.id – Konflik sengketa tanah di Kelurahan Alung Banua, Kecamatan Bunaken Kepulauan, Kota Manado menemui titik terang.
Kedua pihak yang bersengketa, yakni sembilan keluarga warga Kelurahan Alung Banua, Kecamatan Bunaken Kepulauan, dan pihak tergugat Nancy Angela Hendriks beserta keluarga, serta turut tergugat BPN Kota Manado akhirnya mencapai titik rekonsiliasi.
Di hadapan majelis hakim pada persidangan yang berlangsung pada Selasa (25/11/25), kedua kubu menegaskan bahwa perdamaian telah terjalin lebih dulu di luar persidangan, dan kini tinggal diformalkan mengikuti mekanisme peradilan.
Pertemuan di ruang sidang Pengadilan Negeri Manado itu dipimpin langsung oleh Ketua Majelis Hakim, Ronald Massang, SH., MH, yang menavigasi jalannya persidangan singkat namun sarat makna.
Usai persidangan, Nancy Angela Hendriks tampil dengan nada teduh, menggambarkan perjalanan panjang yang telah ia tempuh bersama warga.
“Melihat sisi kemanusiaan, jika pakai kekerasan akan lebih panjang,” ujar Nancy saat ditemui wartawan usai persidangan.
Hukum kasih menjadi dasar dalam penyelesaian sengketa ini. Nancy menjelaskan bahwa setelah proses yang begitu melelahkan, warga akhirnya mengakui keabsahan sertifikat SHM No.003 dan SHM No.004 miliknya.
“Puji Tuhan, sertifikat saya sudah diakui keabsahannya. Warga sudah siap keluar secara sukarela dan menerima kompensasi. Karena itulah, proses damai tetap harus mengikuti mekanisme pengadilan. Tapi dari itu kami sepakat untuk berdamai, hukum kasih yang kami utamakan dan mempersatukan kami,” ucapnya.
“Semua kami telah bicarakan dengan baik, secara kekeluargan. Kami sepakat damai, tapi tetap menghormati prores hukum di pengadilan,” tutur Nancy.
Ia menyampaikan apresiasi mendalam kepada figur-figur yang memfasilitasi perdamaian seperti Wenny Lumentut, mediator yang menjembatani komunikasi dengan warga,serta Hesty Mandang, kuasa hukumnya yang setia mendampingi selama konflik berjalan.
“Puji Tuhan titik temu perdamaian dengan warga. Menjelang Natal, damai itu wajib ada. Bole ada peperangan, tapi tetap harus ada perdamaian. Kita bertanggung jawab di hadapan Tuhan,” urainya.
Di tengah pernyataannya, Nancy sempat menyinggung perjalanan emosional yang ia alami.
“Saya pernah dimaki-maki, dihina, saya diam selama ini. Saya tidak pernah mau counter, karena apa? Kebenaran. Jadi kebenaran harus di atas kebenaran. Jangan goreng-goreng berita lagi. Torang so berdamai, neh,” bebernya.
Nancy meyakini, setiap masalah yang terjadi pasti ada jalan keluar bila diselesaikan dengan kepala dingin dan dengan cara kekeluargaa.
Ia menegaskan bahwa semua pihak kini memilih menata masa depan dengan suka cita, bukan berseteru dalam narasi konflik.
Sementara itu, kuasa hukum Nancy, Heivy Mandang menegaskan bahwa esensi perdamaian bukanlah menguak siapa benar atau salah, melainkan menutup lembar lama.
“Namanya berdamai, tidak melihat ke belakang. Intinya kita satu. Awalnya ini hanya miskomunikasi, dan kini berakhir baik. Puji Tuhan,” sebutnya.
Heivy membeberkan bahwa proses rekonsiliasi bukan terjadi tiba-tiba. Ada komunikasi intens yang dilakukan dengan masyarakat di kelurahan Alung Banua.
Pihaknya juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Wenny Lumentut yang telah memfasilitasi proses rekonsiliasi ini, sehingga kasus ini bisa berakhir dengan penuh kedamaian.
Redaksi.






