Sidang Dana Hibah, Ahli Keuangan Negara: Kasus Ini Lebih ke Perdata Administrasi Bukan Pidana

Prof Dr Juajir Sumardi, guru besar Fakultas Hukum UNHAS Makasar dan Ketua Asosiasi Labolatorium Hukum se Indonesia. Hadir sebagai ahli Bidang Keuangan Negara dan Hukum Ekonomi

Manado, SatuUntukSemua.ID – Sidang kasus dana hibah GMIM kembali digulir di Pengadilan Negeri Manado, Kali ini agenda sidang menghadirkan ahli dari pihak terdakwa, Kamis (06/11/2025).

Prof Dr Juajir Sumardi merupakan guru besar Fakultas Hukum UNHAS Makasar dan Ketua Asosiasi Labolatorium Hukum se Indonesia. Prof Juajir hadir dalam kapasitas sebagai ahli Bidang Keuangan Negara dan Hukum Ekonomi.

Dalam persidangan Prof Dr Juajir Sumardi mengatakan, sesuai Permendagri no 13 tahun 2018, GMIM berhak mendapatkan hibah daerah. Sumardi mengatakan, GMIM tidak boleh dipertanggung jawabkan dalam proses penganggaran. Karena itu menurutnya adalah tanggung jawab pemerintah daerah.

Sumardi menjelaskan, tanggung jawab GMIM adalah penggunaan anggaran sesuai Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).

“Dalam persidangan terungkap bahwa proses pencairan itu yang dipertanyakan. Saya sudah menyampaikan bahwa proses pertanggung jawaban itu bukan pada saat proses pencairan. Tetapi apakah uang yang diterima itu, benar sudah digunakan sesuai yang diperjanjikan,” katanya.

Sumardi mengatakan, jika dalam NPHD tidak ada ketentuan secara limitatif, maka sebenarnya GMIM bisa memanfaatkan dana itu sesuai kepentingan GMIM sendiri.

“Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian mengikat bagi para pihak dan perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai UU berlaku bagi para pihak yang membuat. Jadi hubungan hukum ini dibangun berdasarkan hukum keperdataan,” jelasnya.

Sumardi menuturkan, berdasarkan NPHD mengacu dalam Permendagri, jika dana tersebut tidak digunakan atau disalahgunakan, maka wajib hukumnya untuk dikembalikan.

“Artinya tidak otomatis, merupakan perbuatan melawan hukum pidana. Tetapi perbuatan melawan hukum perjanjian. Itu adalah wanprestasi. Nah artinya itu orang yang merasa dirugikan, bisa menarik kembali. Jika itu tidak dikembalikan, disitu baru ada kerugian negara yang benar-benar masuk dalam objek pidana,” ungkapnya.

Menariknya, Prof Dr Juajir Sumardi memberikan pendapat bahwa dalam proses hibah tidak serta merta memerlukan proposal. Karena Sumardi mengatakan, proposal hanya administrasi dalam proses penganggaran.

“Guna proposal itu untuk menentukan besaran dana hibah. Nah yang penting itu anggaran hibah sudah disetujui DPRD, kemudian ditetapkan menjadi Perda tentang APBD,” ujarnya.

Sumardi menegaskan bahwa, gubernur sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, punya kewenangan penuh dalam menentukan daftar penerima hibah.

“Itu semua kewenangan gubernur. Walaupun kita sudah masukan proposal, namun gubernur tidak menyetujui, itu hak gubernur. Karena dia sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Jadi bukan proposal penentuan utama. Tapi kewenangan gubernur yang menentukan,” imbuhnya.

Disisi lain, Penasihat Hukum (PH) Pdt Hein Arina, Franklin Aristoteles Montolalu mengatakan, bahwa kliennya tidak memiliki perbuatan melawan hukum. Karena menurutnya, jika dalam pembangunan ada infrastruktur yang kekurangan volume, itu harus dipertanggungjawabkan dalam Sinode.

“Kan beda hibah dan pengadaan barang dan jasa. Kalau hibah itu dirasakan oleh organisasi atau lembaga. Kalau pengadaan barang dan jasa itu yang menikmati pemerintahan. Jadi jika ada kesalahan dalam pengadaan barang dan jasa, artinya penipuan. Itu langsung pidana. Kalau hibah ini adalah kepentingan organisasi, yang diatur dalam sidang Sinode GMIM,” kuncinya. (***)

Pos terkait