Krisis Regenerasi Petani, Bertani Adalah Jantung Peradaban

Wildan Shah (Kiri), Prita Laura (Kanan Menghadap Belakang), dan Moeldoko (tengah).

Oleh: Wildan Shah, Staf Ahli Menpora untuk Urusan Kepemudaan Lintas Sektor 2024-Saat ini, Eks Personel KSP Era Presiden Jokowi.

SATUUNTUKSEMUA.ID – Dunia sedang menghadapi krisis yang diam-diam sama berbahayanya dengan perubahan iklim: krisis regenerasi petani.

Dulu, bertani adalah jantung peradaban. Dari tanah yang digarap lahir pangan, budaya, dan kompleksitas ekonomi bagi keberlanjutan hidup manusia.

Namun kini, bagi banyak anak muda, sawah dianggap masa lalu, sementara masa depan tampak berada di kota, di gedung-gedung mewah yang penuh janji modernitas.

Padahal tanpa regenerasi petani, kita kehilangan bukan hanya sumber pangan, tetapi juga kedaulatan ekologi dan keberlanjutan hidup di bumi.

Menurut Agricultural Modernization Theory, regenerasi petani hanya akan terjadi bila pertanian berubah paradigma, dari kerja kasar menjadi profesi modern yang sarat inovasi.

Negara seperti Belanda dan Korea Selatan telah membuktikan bahwa dengan teknologi digital, sistem robotik, dan agribisnis yang efisien, bertani dapat menjadi karier bergengsi, bahkan keren.

Pertanian modern harus membuka ruang bagi sains, teknologi, dan kreativitas untuk hidup berdampingan dengan tradisi.

Namun Youth Transition Theory mengingatkan bahwa modernisasi saja tidak cukup. Anak muda ingin mandiri dan dihargai. Tapi, ketika tanah sulit diakses, harga hasil tani tak menentu, dan pendidikan tak menyiapkan mereka menjadi Petani Keren maka bertani akan tetap dianggap pengorbanan, bukan sebuah impian.

Jika pertanian tidak mampu memberikan secure livelihood, anak muda akan terus meninggalkan sektor ini, mencari masa depan di tempat lain yang lebih menjanjikan.

Sekarang, struktur peluang kerja dan narasi kesuksesan modern lebih banyak mengarah ke sektor non-agraris. Akibatnya, meski pertanian mungkin modern secara teknologi, ia tetap gagal menyediakan pathway sosial-ekonomi yang diidamkan generasi muda.

Karena itu, regenerasi petani perlu mendorong cultural rebranding: perubahan cara pandang kolektif terhadap profesi petani, peternak, nelayan dari simbol keterbelakangan menjadi lambang kemajuan dan gaya hidup budaya pop.

Lebih dari itu, bagi saya, regenerasi petani adalah proses rekoneksi manusia dengan alam dan komunitas lokal yang telah lama terpisah oleh logika industrialisasi dan urbanisasi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *